HUKUM DAGANG
Pengertian Hukum Dagang
Pengertian Hukum Dagang
Hukum dagang
sejatinya adalah hukum perikatan yang timbul dari lapangan perusahaan. Istilah perdagangan
memiliki akar kata dagang. Dalam kamus besar BahasaIndonesia (KBBI)
istilah dagang diartikan sebagai pekerjaan yang berhubungan dengan
menjual dan membeli barang untuk memperoleh keuntungan. Istilah dagang
dipadankan dengan jual beli atau niaga. Sebagai suatu konsep, dagang secara
sederhana dapat diartikan sebagai perbuatan untuk membeli barang dari suatu
tempat untuk menjualnya kembali di tempat lain atau membeli barang pada suatu
saat dan kemudian menjualnya kembali pada saat lain dengan maksud untuk
memperoleh kuntungan. Perdagangan berarti segala sesuatu yang berkaitan dengan
dagang (perihal dagang) atau jual beli atau perniagaan (daden van koophandel)
sebagai pekerjaan sehari-hari.
Ada
isitlah lain yang perlu untuk dijajarkan dalam pemahaman awal mengenai hukum dagang yaitu pengertian perusahaan dan pengertian perniagaan. Pengertian
perniagaan dapat ditemukan dalam kitab undang-undang hukum dagang
sementara istilah perusahaan tidak. Pengertian perbuatan perniagaan diatur
dalam pasal 2 - 5 kitab undang-undang hukum dagang. Dalam pasal-pasal
tersebut, perbuatan perniagaan diartikan sebagai perbuatan membeli barang untuk
dijual lagi dan beberapa perbuatan lain yang dimasukkan dalam golongan
perbuatan perniagaan tersebut. Sebagai kesimpulan dapat dinyatakan bahwa
pengertian perbuatan perniagaan terbatas pada ketentuan sebagaimana termaktub
dalam pasal 2 - 5 kitab undang-undang hukum dagang sementara pengertian
perusahaan tidak ditemukan dalam kitab undang-undang hukum dagang.
Hubungan Hukum Dagang dan Hukum Perdata
Sebelum
mengkaji lebih jauh mengenai pengertian hukum dagang, maka perlu dikemukakan
terlebih dahulu mengenai hubungan hukum dagang dan hukum perdata. Hukum
perdata adalah hukum yang mengatur hubungan antra perseorangan yang lain dalam
segala usahanya untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu bidang dari hukum
perdata adalah hukum perikatan. Perikatan adalah suatu perbuatan hukum yang
terletak dalam bidang hukum harta kekayaan, antra dua pihak yang masing-masing
berdiri sendiri, yang menyebabkan pihak yang satu mempunyai hak atas sesuatu
prestasi terhadap pihak yang lain, sementara pihak yang lain berkewajiban memenuhi
prestasi tersebut.
Apabila
dirunut, perikatan dapat terjadi dari perjanjian atau undang-undang (Pasal 1233 KUHperdata). Hukum dagang sejatinya terletak dalam hukum perikatan, yang
khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatan dalam ruang lingkup ada
yang bersumber dari perjanjian dan dapat juga bersumber dari undang-undang.
Dengan
demikian, maka dapat disimpulkan bahwa hukum dagang adalah hukum perikatan yang
timbul khusus dari lapangan perusahaan. Hukum perdata diatur dalam KUHperdata
dan Hukum Dagang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Kesimpulan in sekaligus menunjukkan bagaimana hubungan antar hukum dagang dan
hukum perdata. Hukum perdata merupakan hukum umum (lex generalis) dan hukum
dagang merupakan hukum khusus (lex specialis). Dengan diketahuinya sifat dari
kedua kelompok hukum tersebut, maka dapat disimpulkan keterhubungannya sebagai
lex specialis derogat lex generalis, artinya hukum yang bersifat khusus
mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Adagium in dapat disimpulkan dari
pasal 1 Kitab undang-Undang Hukum Dagang yang pada pokoknya menyatakan bahwa:
â??Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seberapa jauh dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang tidak khusus diadakan penyimpangan-penyimpangan, berlaku juga
terhadap hal-hal yang disinggung dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Perkembangan Hukum Dagang
KUHPerdata dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang diberlakukan di Hindia Belanda berdasarkan asas konkordansi. Asas Konkordansi menyatakan bahwa hukum yang
berlaku di Belanda, berlaku juga di Hindia Belanda atas dasar asas
unifikasi. Wetbook van Koophandel disahkan oleh Pemerintah Belanda dan mulai
berlaku pada tanggal 1 okt 1838. Berdasarkan asas konkordansi, diberlakukan
di Hindia Belanda berdasarkan Staatblaad 1847 No. 23 yang mulai berlaku pada
tanggal 1 mei 1848.
Apabila
dirunut kebelakang, Wetbook van Koophandel atau Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (Hindia Belanda) merupakan turunan dari Code du commersi Perancis tahun
1808, namun demikian, tidak semua isi dari Code du Commerse diambil alih oleh
Pemerintah Belanda. Misalnya tentang Peradilan khusus yang mengadili
perselisihan dalam lapangan perniagaan, yang dalam code du commerse ditangani
oleh lembaga peradilan khusus (speciale handelrechtbanken), tetapi di Belanda
perselisihan in ditangani dan menjadi jurisdiksi peradilan biasa.
Sementara
itu, di Perancis sendiri Code du Commerse 1908 merupakan kodifikasi hasil
penggabungan dari dua kodifikasi hukum yang pernah ada dan berlaku sebelumnya,
yaitu Ordonance du Commerse 1963 dan Ordonance de iamarine 1681. Kodifikasi
Perancis yang pertama ini terjadi atas perintah ra Lodewijk.
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang masih berlaku di Indonesi berdasarkan Pasal 1
aturan peralihan UUD 1945 yang pada pokoknya mengatur bahwa peraturan yang ada
masih tetap berlaku sampai pemerintah Indonesi memberlakukan aturan
penggantinya. dinegri Belanda sendiri Wetbook van Koophandel telah mengalami
perubahan, namun di Indonesi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tidak mengalami
perubahan yang komprehensif sebagai suatu kodifikasi hukum. Namun demikian
kondisi ini tidak berarti bahwa sejak Indonesi merdeka, tidak ada pengembangan
peraturan terhadap permasalahan perniagaan. Perubahan pengaturan terjadi, namun
tidak tersistematisasi dalam kodifikasi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. perubahan pengaturan terhadap masalah perniagaan di Indonesia dilakukan secara
parsial (terhadap substansi Kitab Undang-Undang Hukum Dagang) dan membuat
peraturan baru terhadap substansi yang tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Dagang.
Kitab
Undang-Undang Hukum Dagang pada dasarnya memuat dua (2) substansi besar, yaitu
tentang dagang pada umumnya dan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
terbit dari pelayaran.
Bursa
yang diaitur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang telah mengalami
perkembangan yang sangat pesat melalui lembaga pasar modal sebagaimana diatur
dalam UU No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan Bursa Komoditi Berjangka yang
diatur dalam UU No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi.
Terhadap ketentuan wesel, cek, promes, sekalipun belum diubah tetapi lembaga
surat berharga telah dilengkapi dengan berbagai peraturan yang tingkatnya
dibawah UU, khusus untuk Surat Utang yang termasuk dalam kategori
surat berharga, diatur dalam UU No. 24 Tahun 2002. Sementara tentang
Pertanggungan (asuransi) telah berkembang menajdi industr yang sangat besar.
Pengaturan terhadap pertanggungan telah mengalami perkembangan yang cukup
mendasar, khususnya dengan diberlakukannya UU No. 2 Tahun 1992 tentang
Perasuransian.
Berikut
ini saya akan memberi contoh kasus dalam hukum dagang
Kasus hukum dagang 1
Kasus hukum dagang 1
Kasus
hukum dagang berikut ini sebenarnya merupakan bagian dari hukum kepailitan.
Namun kepailitan juga diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang. Berikut
ini kasus hukum dagang 1.
Sebuah
perusahaan mempunyai utang kepada tiga kreditur. Perusahaan tersebut berjanji
akan membayarnya sesuai perjanjian yang telah disepakati kepada ketiga kreditur
tersebut. Setelah dilakukan beberapa kali penagihan hingga jatuh tempo, utang itu
belum juga dilunasi oleh perusahaan itu. Dalam kondisi seperti ini bisakah
perusahaan dipailitkan?
Dalam
pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kepailitan
adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan
pemberesannya dilakukan oleh kurator dibawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.
Permohonan pernyataan pailit dapat diajukan ke pengadilan Niaga. Pengajuan itu harus memenuhi persyaratan sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 ayat 4 Undang-Undang Kepailitan. Ketentuan yang dimaksud dalam pasal tersebut secara umum dapat dijelaskan sebagai berikut:
Debitur
yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar luna sedikitnya satu
hutang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan
putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu
atau lebih krediturnya.
Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit telah terpenuhi.
Undang-Undang
Kepailitan juga mengatur syarat pengajuan pailit terhadap debitur-debitur
tertentu sebagai berikut:
- Dalam hal debitur adalah bank, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia
- Dalam hal debitu adalah perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dalam diajukan oleh Badan Pengawas Pasar Modal.
- Dalam hal debitur adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun atau badan usaha milik negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.
Kasus Hukum Dagang II
Contoh
kasus hukum dagang selanjutnya adalah kasus hukum dagang yang terkait
dengan merk dagang. Berikut ini contoh kasus hukum dagang II.
Seorang pengusaha menciptakan sebuah produk yang kemudian menjadi barang dagangannya. Desain logo untuk merek produk tersebut ternyata sama dengan desain merk sebuah perusahaan lain yang telah lebih dahulu ada dan terdaftar, perbedaannya hanya terdapat pada nama produknya saja. Oleh karena itu, perusahaan yang telah lebih dahulu mendaftarkan itu merasa dirugikan karena logo merknya ditiru dan menggugat pengusaha yang dianggap meniru itu. Bagaimana penyelesaiannya?
Pada
dasarnya, merk adalah tanda berupa gambar, susunan warna, nama, kata,
huruf-huruf, angka-angka, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang
memiliki pembeda, dan digunakan dalam kegiatan perdagangan yang sama. Sedangkan
merek dagang adalah merek barang yang digunakan pada barang yang diperdagangkan
oleh seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama atau badan hukum untuk
membedakan dengan barang sejenis lainnya, maksudnya adalah barang yang termasuk
dalam satu cabang industri atau satu cabang perdagangan yang sama.
Terdapat beberapa ketentuan mengenai merek yang tidak diperbolehkan dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, seperti:
- Merek orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu untuk barang dan atau jasa yang sejenis
- Merek yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan jasa sejenis
- Indikasi geografis yang sudah terkenal
Maka
dalam hal ini pengusaha tersebut telah melanggar apa yang telah ditetapkan
dalam Undang-Undang HAKI, yaitu telah membuat logo merek sama dengan logo
perusahaan lain yang telah terdaftar, walaupun terdapat perbedaan pada namanya.
Ini dapat dikategorikan sebagai merek sama pada pokoknya.
Maka dalam hal ini pengusaha tersebut telah melanggar hak cipta dan perusahaan yang lain tersebut berak mendapatkan keadilan atas hak kekayaan intelektual yang dimilikinya. Perusahaan tersebut dapat menggugat pengusaha lainnya terkait dengan peniruan logo.
sumber:
- http://statushukum.com/hukum-dagang.html
- http://statushukum.com/kasus-hukum-dagang.html